Bulan Agustus tahun 1946 keadan RI masih belum stabil dan masih rawan, termasuk di Kota Majene, Sulawesi Barat, karena Belanda masih berharap mendapatkan kembali Nusantara meski dengan kekerasan. Ayah saya yang bekerja di Jawatan Pertanian sedang bertugas disana sebagai Kepala Perkebunan dengan membawa keluarga. Pada suatu hari mereka mengalami suatu kejadian yang membuat mereka memutuskan untuk kembali ke rumah handai taulannya di Solo/ Surakarta di pulau Jawa. Tak ada cara lain waktu itu selain menggunakan kapal layar di musim hembusan angin yang tidak tepat karena kapal harus berlayar zig zag melawan angin sebagaimana semua kapal layar menghadapi angin haluan. Dengan berbekal makanan untuk sebulan mereka mengarungi laut Jawa tujuan Surabaya selama 3 bulan ( membawa 3 anak kecil dan 1 bayi/ kakak-kakak tercinta saya ) dengan segala suka dukanya. Inilah cerita yang dituturkan oleh almarhumah ibu saya . Semoga kedua orang tua saya sekarang berada dalam keridhoan dan kerahiman Allah SWT .
KISAH NYATA TEMPO DULU
Karya Ibu Soetopo .
Kota Majene sekarang.
Saat itu kami tinggal di Celebes...setahun kemerdekaan baru kita alami.
Diluar kota Celebes ( maksudnya kota Majene Sulawesi Barat) terdapat suatu daerah
Transmigrasi bekas kolonisasi Belanda. Disana hawanya sangatlah sejuk dan
nyaman,sedangkan tumbuhan tumbuh subur serta hijau berkat rawatan penduduk
setempat. Tidaklah mengherankan bila untuk menjadi tempat rekreasi umum.
Pada suatu pagi yang cerah dihari Minggu, kami sekeluarga pergi
berekreasi ketempat tersebut. Sehari penuh kita bertamu kerumah rumah penduduk
dan ikut memetik buah-buahan dikebun mereka.
Mereka menyambut kami dengan penuh kegembiraan dan ramah tamah. Kamipun sangat senang dan tak terasa hari
sudah hampir malam, tiba saatnya untuk berpamitan.
Sedikit tip kami tinggalkan bagi mereka,
dan mereka membalas dengan bekal aneka ragam , hasil swadayanya.
Ketika kami sampai di rumah,keadaan dirumah kami sangat mengejutkan,
karena porak poranda.. ...apakah yang telah terjadi sebetulnya ? Ternyata sewaktu kami keluar rumah semuanya, sudah
terjadi peperangan singkat serangan dari
laut, tembakan meriam dan bom dari udara,
yang telah merusakan bangunan kota dan sementara rumah penduduk, tidak ketinggalan rumah kami tertimpa
musibah gawat.
Atapnya banyak yang bolong, dan
sebuah bom utuh belum meledak sedang tergolek di bawah meja pojok, Allah Ya Rakhim... Dia telah meyelamatkan
kita sekeluarga.....jika sekiranya kita tinggal dirumah, ahhh apakah jadinya?
Rupa-rupanya bom tadi terjatuh ke dalam lubang genting,terus masuk dan
menimpa dipan berkasur, yang empuk dan menggelinding kebawah dengan
perlahan-lahan, terus memojok, istirahat ditempat. ( ini ramalan ilmu kira-kira lo,
kata penulis)
Hal yang sedemikian membuat kami sangat gelisah tinggal di Celebes, jangan-jangan
musuh kembali membom lagi.....,dengan singkat Bapak mengambil tindakan tegas,
jual rumah seisinya dan cari kapal disewa untuk pulang ke Jawa, tiada jalan
lain.
Melalui beberapa kawan baik
Bapak, semuanya terwujud, rumahpun laku, kapal di
dapat, khusus untuk kami dengan
keluarga. Turut bersama kami ada 2 pembantu (suami isteri) dan 3 orang anak
remaja Pelayaran yang bersedia menyumbangkan tenaga, asalkan sampai ketanah
Jawa, tempat orang tua mereka. Anak kapal berjumlah 11 orang, kami 6
orang, yaitu Ibu, Bapak, Taty, Nany, Jadi, dan bayi Tinah yang
baru berusia 3 bulan. Bismillah Hirakhman Nir Rakhim, kamipun berlayar. Banyak
tetangga yang melarang kami, karena angin sedang tidak baik, tapi kami telah
berbulat tekad untuk berlayar.
Kami beli bahan makanan untuk 18 orang, selama kira-kira 1 bulan. Kapal
kami kapal layar, tanpa mesin, mempunyai 3 tiang dengan masing-masing 5 layar
berbentuk trapesium. Geladaknya ada 3
tingkatan. Panjang kapal sekitar 15 M
Kapal sejenis inilah yang dipakai
bapak ibu menyeberangi laut Jawa,
namun yang ini sudah diberi mesin.
namun yang ini sudah diberi mesin.
Dalam keadaan darurat itu kami merasakan hubungan persaudaraan dengan sesama penumpang sangat mendalam,
karena kami semua sehidup dan sematipun sepenanggungan di laut luas tak terbatas,
jauh sana jauh sini, siapa pula saudara kami saat itu, kalau bukan mereka itu?
Entahlah sekarang dimanakah gerangan mereka, dan namanya pun saya sudah
lupa, mungkin mereka pun sudah lupa kepada kami, itu pak nakhoda, para kelasi,
anak-anak 3 remaja yang suka momong anak saya, dan kedua pembantu
yang kini mungkin sudah sama tua dan lupa.
Geladak kapal paling atas adalah untuk mengerjakan segala kegiatan jika
angin sedang baik dan ombak tenang.
Kegiatan seperti mencuci piring piring dan alat dapur serta pakaian, langsung
menimba air laut dengan timba bertali
tambang, juga termasuk (maaf)
mandi atau buang air, dipojok kapal saja, berpegangan tangan dengan
Bapak Topo yang serba bisa itu.
Hebat sekali Bapak, itu dari membersihkan kotoran bayi, muntahnya kami jika sedang teler, lalu
jika malam momong bayi juga membuatkan
susu. Karena kami sekeluarga teler ( maksudnya mabuk laut) semua kecuali Bapak sendiri dan anak anak
kapal. Jika laut tenang, kami dapat bergurau dan anak-anak berkumpul dengan
orang-orang kapal dan saya bersama Bapak dapat mengepel ruang tidur yang jarang
sekali dibersihkan.
Saat kami bertolak adalah saat angin Pasat Tenggara, sehingga arah
tiupan angin dari Tenggara. menuju
khatulistiwa, sesampai di daerah khatulistiwa berbelok ke Timur Laut. Berarti
menentang kapal kami.
Guna melemahkan perlawanan angin galak itu, maka kapal ditujukan ke arah
Kalimantan Selatan, baru menuju Pulau Jawa, lurus ke Selatan mendarat di
Surabaya. (pelabuhan Tanjung Perak).
Kita di kapal jarang mandi, hanya anak-anak yang sudah bau ompol atau
sudah kotor sekali, ini menjaga agar tidak kehabisan air tawar, untuk minum.
Kalau mandi air laut, tentu kulit tidak tahan air asin yang niscaya akan
menjadikan gatal gatal pada tubuh.
Obat-obatan yang kita kenal saat itu ( jaman susah ) barulah kina, aspirin, salep pastalazar dan brandzalf, lalu yodium tinctuur, lalu balsem dan minyak kayu putih .
Soal minum haruslah diirit-irit,
karena mungkin jarang sekali bertemu dengan pulau dalam perjalanan dan tidak
jarang kehabisan air tawar.
Pulau Perak Kep. Seribu DKI 2012 Arung Pasha TW
Jika kebetulan ada sebuah pulau kecil (kepulauan seribu) barulah kita berkesempatan mandi sesuka hati, dan mengisi kembali air tawar. Kadang kadang pulau yang kita temui itu tidak berpenghuni, sehingga kami terpaksa mengisi tong air dengan air rawa yang jernih atau memetik buah dan sayuran yang sekiranya dapat pengganti sayur.
Rumput lateng juga kita gunakan untuk pengganti bayam, dan krokot pun sering kita temukan di
hutan kecil sebuah pulau. Jeruk kelingkit dapat untuk penyegar rasa, seperti
jeruk nipis rasanya, bila disedu dengan air matang.
Karena suasana perang masih berlangsung, maka jika malam tidak dipasang
lampu, guna menghindari intaian pesawat musuh yang sering beterbangan diudara.
Dan kapal patroli pun sering kali lewat di malam hari. Kapal
terpaksa berhenti, dan layar pun digulung, anak kapal beristirahat semalaman,
untuk esok bekerja kembali sepanjang hari, seiring terbitnya sang surya di ufuk
Timur.
Kadang kadang berhari hari kita mengharapkan untuk bertemu dengan daratan,
dan alangkah senangnya jika suatu senja terbayang sebuah bayangan hitam yang berarti ada pulau
jauh dimuka sana........ haripun malam,kapal sebagaimana berhenti. .... .Apakah
yang kita temui dihadapan sana ? Mana
pulau kemarin itu ? Ternyata kapal kita mundur atau surut kembali, karena terbawa
ombak atau arus laut semalam.
Satu noktah di cakrawala berarti daratan Arung pasha TW
Kembali kapal meneruskan perjalanan dengan berpedoman pada kompas. Begitulah kita terkatung katung di tengah lautan lepas tak terbatas, Jauh dari daratan....selama tidak kurang dari 3 bulan. Hanya Tuhan juga tempat kami memohon ampunan dan petunjuk yang lurus dalam Kekuasaan Mu kini. Allahhu Akbar.
Suatu ketika, siang hari sekitar pukul 2 sedang Ibu dan anak-anak
berkumpul di dek bawah, dan Bapak serta pemuda lainnya sedang berada di dek
atas datanglah sebuah kapal Belanda yang segera menyuruh kapal berhenti lalu
serombongan orang Belanda memasuki kapal terus ke bawah dengan senapan ditangan
memeriksa seluruh isi kapal....akhirnya melihat juga keruang bawah tempat Ibu sedang memeluk keempat putra putri dan
bayinya memandang dengan wajah penuh ketakutan
dan anak anak mulai mingsen-mingsen, mendekap erat ibundanya, yang
menggigil ini.
Dalam hatiku kusebut nama Allah, mohon perlindunganNya.
Semula pandangan tamu tamu itu garang, bertolak pinggang dengan angkuh,(apakah kumisnya melintang? red.) tetapi lama kelamaan mata mereka
melembut, kegarangannya hilang ...dan meninggalkan kami dengan lesu dan geleng
geleng kepala, mungkin juga mereka terkenang ibu dan adik-adiknya di tanah
airnya sendiri . . . . .Wallahu Alam.
Segera mereka naik kekapalnya sendiri lalu menjauhi kita, entah apa yang
akan diperbuatnya, karena sering Juga hal yang tidak baik yang terjadi misalnya merampok atau menyita barang makanan
penumpang.
Kita telah hampir kehabisan air minum, dan setelah dikumpulkan dari tong
dan jerigen hanya tinggal 10 liter saja, dan perjalanan masih Jauh. Baru 2/3
perjalanan terlampaui.
Bagi yang tua-tua cukuplah seteguk dua, untuk membasahi tenggorokan, dan
anak anak diberi setengah gelas seorang dimulai dari yang terkecil, jika masih
ada sisa sedikit ditambah lagi untuk kakaknya dan seterusnya, sehingga tak ada
air yang terbuang.
Para pelaut tidak meminta minum. Apakah mereka dapat
memanfaatkan air laut, entahlah . Yang kami tahu mereka jarang sekali minum,
mungkin sudah menjadi kebiasaan: tahan udara panas.
Kembali pada saat kapal Belanda tadi
pergi, tiada berapa lama tiba-tiba saja mereka kembali dengan membawakan
air tawar banyak sekali ... Ohh kegarangan mereka telah mendapat bisikan
Illahi, sehingga berubah menjadi belas kasihan, ( rupanya) mereka melihat tong air yang
sudah kosong tadi.
Ibu yang tadinya ketakutan, berubah berwajah gembira karena sempat masak
nasi lagi dengan air, bikin sayur ( synthetis) atau membuat kopi, teh dan cuci
muka air hangat, tentu saja masih ingat untuk hari esok, dan masih di hemat
hematkan penggunaan air minum itu, tirakat dulu. Tiada terasa pengalaman pahit
itu banyak hikmahnya juga, selain mendekatkan kita kepada Tuhan Pencipta alam
semesta, juga sekaligus kita telah menolong ketiga anak pelayaran yang sudah
rindu kampung halamannya, juga sepasang pembantu kita yang semula berlainan
majikan dapat bersama kembali pulang ke tanah tumpah darahnya.
Majene di tahun 1930
Maka seruanku kepada pembaca yang budiman, janganlah Anda lupa kepada mereka yang menderita selagi anda dalam keadaan senang karena segala pertolongan kepada siapapun yang telah anda perbuat, akan membuahkan kebaikan bagi anda juga, seperti kata pepatah “Sing sapa nandur, bakal ngunduh”. Sebaliknya bertawakallah Anda selagi menderita, mohonlah ampunan Nya agar Anda segera mendapat petunjuk yang baik serta kekuatan iman ketabahan hati dalam menjalani cobaan Illahi, karena suatu cobaan itu adalah suatu ujian kenaikan tingkat Anda di mata Tuhan Rabbil Alamin.
Sekian kisah nyata saya, mengharap kepada saudara saudara yang lain suka
juga menceritakan pengalamannya , untuk jadi petunjuk bagi generasi kita mendatang
dan dapat diambil hikmahnya pula.
Apabila dalam kata-kata saya ada hal yang kurang berkenan, sudilah
kiranya memaafkan adanya.
Cerita ini akan kami sambung dengan cerita lain yang
kami ingat lagi.
Insya Allah.
Catatan :
1. Sepertinya redaksinya adalah Dik Yayu ( ny. Dr. Sujono) atau di Sis (Ny Hartono).
2. Dikutip dari Buletin Intern P.T.R.K ( PANGUYUBAN TRAH RUKUN KRITIK/ perkumpulan keluarga besar ayahku) / 8-8-88
3. Foto kota Majene sekarang courtesy Ilman Only. foto Majene 1930 courtesy Troppen Museum
4. Telah diusahakan sejauh mungkin keslian tulisannya di Buletin PTRK.
5. Dari Surabaya perjalan diteruskan ke Solo dengan gerobak yang di hela sapi, suatu petualangan lagi.
6. Di Surakarta pun keadaan tidak aman. Kediaman kami pernah dirampok oleh sekelompok orang berkedok pemain wayang orang.
1. Sepertinya redaksinya adalah Dik Yayu ( ny. Dr. Sujono) atau di Sis (Ny Hartono).
2. Dikutip dari Buletin Intern P.T.R.K ( PANGUYUBAN TRAH RUKUN KRITIK/ perkumpulan keluarga besar ayahku) / 8-8-88
3. Foto kota Majene sekarang courtesy Ilman Only. foto Majene 1930 courtesy Troppen Museum
4. Telah diusahakan sejauh mungkin keslian tulisannya di Buletin PTRK.
5. Dari Surabaya perjalan diteruskan ke Solo dengan gerobak yang di hela sapi, suatu petualangan lagi.
6. Di Surakarta pun keadaan tidak aman. Kediaman kami pernah dirampok oleh sekelompok orang berkedok pemain wayang orang.
Daniel Benyon's Javanese Rural Scene